Ditulis oleh: Arizal Anwar – Ketua PN Kalianda
Jakarta | LintasUpdate – Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek Van Strafrecht/KUHP) yang berlaku di Republik Indonesia selama ini merupakan warisan kolonial Belanda, berdasarkan pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana, yang telah beberapa kali diubah. Wetboek Van Strafrecht dilandasi oleh aliran klasik yang terfokus pada perbuatan atau tindak pidana yang terjadi. Seiring perkembangan zaman, aliran ini sudah tidak lagi relevan dan tidak mampu mengakomodasi kepentingan pelaku. Sementara itu, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP Baru), didasarkan pada pemikiran Neo-Klasik yang menekankan keseimbangan antara faktor objektif (perbuatan) dan subjektif (sikap batin), yang tidak hanya menilai perbuatan atau tindak pidana, tetapi juga memperhatikan aspek individual pelaku. (Senin, 07 April 2025)
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin pesat menyebabkan tingkat kejahatan menjadi semakin kompleks, sehingga perlu dilakukan pembaruan hukum pidana. Pembaruan hukum pidana materiil telah dilakukan pemerintah dengan mengesahkan dan mengundangkan KUHP Baru pada tanggal 2 Januari 2023, yang mulai berlaku efektif pada tanggal 2 Januari 2026. Sementara itu, pembaruan hukum pidana formil (Rancangan KUHAP) masih dalam tahap pembahasan.
Dalam Pasal 54 ayat (2) KUHP Baru, diperkenalkan konsep Pemaafan Hakim (Rechterlijk Pardon). Secara eksplisit, Pasal 54 ayat (2) KUHP Baru menyatakan, “Ringannya perbuatan, keadaan pribadi pelaku, atau keadaan pada waktu dilakukan tindak pidana serta yang terjadi kemudian dapat dijadikan dasar pertimbangan untuk tidak menjatuhkan pidana atau tidak mengenakan tindakan dengan mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan.”
Menurut penulis, konsep Pemaafan Hakim (Rechterlijk Pardon) merupakan suatu putusan yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim terhadap terdakwa yang telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana ringan. Namun, terdakwa tidak dikenakan pidana penjara, kurungan, denda, maupun tindakan lainnya, termasuk pidana bersyarat (voorwaardelijke veroordeling).
Konsep Pemaafan Hakim (Rechterlijk Pardon) berasal dari Belanda, yang telah merevisi Wetboek van Strafrecht Nederland dan memasukkannya dalam Pasal 9a. Beberapa negara yang telah menerapkan konsep ini antara lain Belanda, Yunani, Portugal, dan Uzbekistan.
Tujuan dari konsep Pemaafan Hakim (Rechterlijk Pardon) adalah untuk memberikan rasa keadilan kepada pelaku tindak pidana ringan, sehingga pemidanaan tidak merendahkan martabat manusia. Namun, hakim tetap wajib menegakkan hukum dan keadilan. Pemidanaan seharusnya menjadi ultimum remedium, yaitu upaya terakhir dalam penegakan hukum. Selain itu, konsep ini juga bertujuan untuk mengurangi overkapasitas di lembaga pemasyarakatan yang selama ini menjadi masalah.
Berdasarkan ketentuan Pasal 51, Pasal 52, dan Pasal 53 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Nasional, terdapat beberapa tujuan pemidanaan, salah satunya adalah untuk menumbuhkan rasa penyesalan dan membebaskan rasa bersalah pada terpidana. Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk merendahkan martabat manusia. Selain itu, dalam mengadili perkara pidana, hakim wajib menegakkan hukum dan keadilan. Jika terdapat pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan, hakim harus mengutamakan keadilan. Oleh karena itu, tujuan pemidanaan ini sangat relevan dengan konsep Pemaafan Hakim (Rechterlijk Pardon).
Konsep Pemaafan Hakim dalam Pasal 54 ayat (2) KUHP Baru dapat dianalisis dalam tiga kategori, yaitu:
1. Ringannya perbuatan
2. Keadaan pribadi pelaku
3. Keadaan pada waktu dilakukan tindak pidana serta yang terjadi kemudian.
Dalam KUHP Baru, untuk frasa ringannya perbuatan, beberapa pasal mengaturnya, seperti:
1. Tindak Pidana Penghinaan Ringan, diatur dalam Pasal 436, yang menyatakan bahwa penghinaan ringan yang dilakukan terhadap orang lain baik di muka umum atau dalam tulisan dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 bulan atau denda kategori II sebesar Rp10.000.000,00.
2. Tindak Pidana Penganiayaan Ringan, diatur dalam Pasal 471, yang menyatakan bahwa penganiayaan ringan yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan profesi dapat dipidana dengan denda kategori II sebesar Rp10.000.000,00.
3. Tindak Pidana Pencurian Ringan, diatur dalam Pasal 478, yang menyatakan bahwa pencurian yang dilakukan di luar rumah atau pekarangan tertutup dengan barang yang dicuri tidak lebih dari Rp500.000,00 dipidana dengan denda kategori II sebesar Rp10.000.000,00.
4. Tindak Pidana Penggelapan Ringan, diatur dalam Pasal 487, yang menyatakan bahwa penggelapan barang yang nilainya tidak lebih dari Rp1.000.000,00 dipidana dengan denda kategori II sebesar Rp10.000.000,00.
5. Tindak Pidana Penipuan Ringan, diatur dalam Pasal 494, yang menyatakan bahwa penipuan ringan dengan barang yang diserahkan atau keuntungan yang diperoleh tidak lebih dari Rp1.000.000,00 dipidana dengan denda kategori II sebesar Rp10.000.000,00.
Selanjutnya, untuk keadaan pribadi pelaku, dapat merujuk pada Pasal 70 Ayat (1) KUHP Baru, yang menyatakan bahwa pidana penjara sedapat mungkin tidak dijatuhkan jika terdakwa memenuhi beberapa keadaan seperti:
a. Terdakwa adalah anak atau berumur di atas 70 tahun;
b. Terdakwa baru pertama kali melakukan tindak pidana;
c. Kerugian korban tidak terlalu besar;
d. Terdakwa telah membayar ganti kerugian kepada korban, dan sebagainya.
Frasa “keadaan pada waktu dilakukan tindak pidana serta yang terjadi kemudian” mengacu pada apakah tindak pidana tersebut dilakukan dengan perencanaan, kesengajaan, atau kelalaian. Jika dilakukan dengan kelalaian, maka itu termasuk tindak pidana ringan. Jika tindak pidana tersebut merupakan percobaan atau dilatarbelakangi oleh keadaan yang tidak mungkin terulang, maka itu juga termasuk dalam kategori tindak pidana ringan.
Perbandingan dengan Hukum di Belanda
Di Belanda, konsep Pemaafan Hakim (Rechterlijk Pardon) diatur baik dalam hukum pidana materiil maupun formil. Di sana terdapat empat jenis putusan, yaitu putusan pemidanaan, putusan bebas, putusan lepas, dan putusan pemaafan. Dalam KUHP yang berlaku sekarang (Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946) serta KUHAP (Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981), tidak ada pengaturan mengenai konsep Pemaafan Hakim, sehingga terdapat kekosongan norma.
Dalam KUHAP saat ini, jika hakim menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah, maka terdakwa harus dijatuhi pidana atau tindakan. Apabila salah satu dari keduanya tidak dijatuhkan, maka putusan dianggap batal demi hukum.
Oleh karena itu, pengaturan tentang Pemaafan Hakim dalam Pasal 54 ayat (2) KUHP Baru harus diharmonisasikan dengan Rancangan KUHAP untuk memastikan kepastian hukum. Sehingga, konsep Pemaafan Hakim (Rechterlijk Pardon) dalam Pasal 54 ayat (2) KUHP Baru perlu diatur dalam Rancangan KUHAP dengan empat jenis putusan, yaitu:
1. Pemidanaan (veroordeling)
2. Putusan Bebas (vrijspraak)
3. Putusan Lepas (onslag van recht vervolging)
4. Putusan Pemaafan Hakim (Rechterlijk Pardon). (Red)