Oleh : Redaksi LintasUpdate
Bogor | LintasUpdate – Maraknya berdirinya tempat rehabilitasi narkoba swasta dalam beberapa tahun terakhir patut menjadi sorotan. Di berbagai daerah, fasilitas swasta bermunculan menawarkan program “pemulihan adiksi” dengan beragam metode, mulai dari pendekatan medis hingga spiritual.
Namun, pertanyaannya. Apakah semua tempat tersebut beroperasi sesuai dengan ketentuan hukum dan standar kesehatan yang telah ditetapkan pemerintah?
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2015 tentang Pedoman Teknis Rehabilitasi Medis Pecandu, Penyalahguna, dan Korban Penyalahgunaan Narkotika, setiap fasilitas rehabilitasi medis baik milik pemerintah maupun swasta wajib memiliki izin operasional dari Kementerian Kesehatan.
Selain itu, lembaga tersebut harus terakreditasi oleh Badan Narkotika Nasional (BNN) jika ingin menjalankan program rehabilitasi sosial dan medis secara terpadu.
Sayangnya, dalam praktiknya, sejumlah tempat rehabilitasi swasta justru beroperasi tanpa kejelasan izin. Beberapa hanya mengandalkan legalitas yayasan atau surat keterangan lingkungan, tanpa memiliki standar layanan medis sebagaimana diwajibkan. Fenomena ini bukan sekadar persoalan administrasi, melainkan menyangkut keselamatan jiwa para pasien yang dititipkan oleh keluarga.
Standar peralatan medis pun tak kalah penting. Berdasarkan Permenkes dan pedoman teknis BNN, fasilitas rehabilitasi medis minimal harus dilengkapi dengan:
1.Ruang pemeriksaan medis dengan peralatan dasar (stetoskop, tensimeter, termometer, timbangan, alat saturasi oksigen).
2.Peralatan kegawatdaruratan (emergency kit) termasuk tabung oksigen, alat resusitasi, dan obat-obatan emergensi dasar.
3.Ruang detoksifikasi yang dilengkapi bed pasien, sistem ventilasi memadai, serta alat monitoring tanda vital.
4.Peralatan laboratorium sederhana untuk pemeriksaan urine dan tes penunjang lain terkait penggunaan zat adiktif.
5.Pencatatan rekam medis pasien sesuai dengan standar rekam medis nasional.
Jika salah satu dari ketentuan tersebut tidak dipenuhi, maka secara hukum tempat rehabilitasi tersebut tidak sah menjalankan layanan rehabilitasi medis. Pemerintah daerah bersama Kemenkes dan BNN memiliki kewenangan melakukan pengawasan serta menutup fasilitas yang tidak memenuhi standar.
Masalahnya, lemahnya pengawasan dan ketidaktegasan aparat sering membuat tempat-tempat seperti ini luput dari jeratan hukum. Padahal, di balik klaim “niat membantu” para pecandu, terdapat risiko malpraktik medis yang dapat memperparah kondisi pasien, bahkan berujung kematian.
Pemerintah perlu bersikap tegas. Rehabilitasi narkoba bukan sekadar program sosial, melainkan layanan kesehatan yang sangat teknis dan berisiko tinggi. Swasta memang memiliki ruang untuk berperan aktif, tetapi harus tunduk pada regulasi. Tanpa itu, rehabilitasi berubah menjadi bisnis yang mengabaikan keselamatan manusia.
Pewarta : Abdul Aziz Editor : All Copyright © LintasUpdate 2025