Bogor | LintasUpdate – 23 Agustus 2025 – Demokrasi di Kota Bogor tengah menghadapi ujian serius. Aksi demonstrasi Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) yang semula bertujuan menyampaikan kritik terhadap kinerja Pemerintah Kota berakhir dengan ketegangan.
Bukan ruang dialog yang muncul, melainkan ancaman kriminalisasi. Bagi publik, langkah ini menimbulkan kegelisahan: apakah demokrasi di daerah sedang berjalan mundur?
Mahasiswa dan Tradisi Kritik
Sejarah politik Indonesia menunjukkan, mahasiswa kerap menjadi aktor utama dalam mengoreksi arah perjalanan bangsa. Kritik mereka, meski kadang keras dan penuh simbol, lahir dari niat menjaga moralitas publik.
“Mahasiswa bukan musuh pemerintah. Mereka adalah suara kritis masyarakat yang harus dirangkul, bukan dibungkam,” ujar Ferdian Mufti Azis, mantan aktivis HMI sekaligus Direktur Brain Institute. Ferdian menekankan, seorang Wali Kota semestinya tidak hanya bertindak sebagai pejabat administratif, tetapi juga hadir sebagai figur orang tua. “Orang tua yang bijak tidak menolak kritik anaknya. Ia mendengar, merenungkan, lalu memperbaiki. Itu esensi kepemimpinan yang sesungguhnya,” katanya.
Demokrasi Lokal dan Pilihan Jalan
Kriminalisasi terhadap kritik mahasiswa berpotensi menjadi preseden buruk. Alih-alih meredakan konflik, hal itu dapat memperdalam jarak antara masyarakat sipil dan pemerintah. Padahal, dalam konteks demokrasi lokal, keberhasilan kepemimpinan justru diukur dari kemampuan merangkul pihak yang berbeda pandangan.
Dialog terbuka adalah jalan yang dianggap lebih sehat. Kritik bisa menjadi masukan berharga, sementara pemerintah mendapat kesempatan menjelaskan kebijakan yang kerap dipersoalkan publik.
Opini Tokoh
Dalam tulisan opini yang dikirimkan kepada Kami (red) Ferdian menulis:
“Demokrasi selalu membutuhkan ruang, bukan pembatasan. Ketika mahasiswa turun ke jalan, mereka membawa keresahan publik yang tak terucapkan. Kriminalisasi justru memperlebar jurang antara pemerintah dan masyarakat. Kritik bukan musuh, melainkan cermin. Dari cermin itulah kita bisa memperbaiki diri.”
Ia menutup dengan refleksi:
“Kini pilihan ada di tangan Wali Kota Bogor. Apakah memilih jalan konfrontatif yang memperkeras suasana, atau jalan kebijaksanaan yang menenangkan? Sejarah selalu berpihak pada pemimpin yang mau mendengar.”
Menanti Kebijaksanaan
Masyarakat kini menunggu langkah Wali Kota Bogor. Apakah ia akan membuka pintu dialog dengan mahasiswa, atau justru memperkeras langkah hukum?
Satu hal pasti: suara mahasiswa tidak bisa dibungkam.
Mereka adalah bagian dari denyut demokrasi itu sendiri. Dan setiap pemimpin akan selalu dikenang, bukan karena kekuasaan yang dipertahankan, melainkan karena kebijaksanaan yang diwariskan.(Red)