Bogor | LintasUpdate – Dalam negara demokrasi, kebebasan pers menjadi fondasi utama tegaknya fungsi kontrol sosial. Media berperan sebagai pengawas independen terhadap jalannya pemerintahan sekaligus ruang publik untuk menyuarakan kepentingan masyarakat.
Namun, wacana bahwa gaji wartawan dibiayai dari pajak negara justru berpotensi mengancam kemerdekaan pers. Wartawan bekerja atas dasar independensi, bukan sebagai corong pemerintah. Jika honorarium mereka bersumber dari APBN maupun APBD, otomatis akan menimbulkan konflik kepentingan. Bagaimana mungkin seorang jurnalis bisa kritis mengungkap dugaan korupsi atau kebijakan yang merugikan rakyat, sementara penghasilannya berasal dari institusi yang dikritiknya?
Dalam praktik ideal, gaji wartawan harus bersumber dari perusahaan pers yang dikelola secara profesional. Pendapatan media diperoleh melalui model bisnis yang sehat: iklan, langganan, hingga inovasi digital—bukan dari anggaran negara. Pola ini tidak hanya menjaga independensi pers, tetapi juga melindungi publik dari potensi propaganda terselubung.
Masyarakat pun perlu memahami bahwa pers bebas adalah milik publik, bukan alat pemerintah. Justru ketika media mampu bertahan hidup tanpa sokongan pajak rakyat, kepercayaan pembaca semakin kuat. Tugas negara bukan menggaji wartawan, melainkan memastikan iklim kebebasan pers tetap sehat melalui regulasi yang adil, perlindungan jurnalis, serta keterbukaan akses informasi.
Kemerdekaan pers adalah tiang demokrasi. Jika gaji wartawan bersumber dari pajak negara, tiang itu akan rapuh.(Red)