back to top
Kamis, Juli 17, 2025

Raja Ampat di Ujung Kehancuran: Tambang Nikel Ancam Surga Laut Papua

Oleh: Logis Satria Zebua | Kabid AKSPEL GMKI Bogor

RAJA AMPAT | LintasUpdate – Keindahan alam Raja Ampat, Papua Barat Daya, yang selama ini dikenal sebagai salah satu surga bawah laut terakhir di dunia, kini menghadapi ancaman serius dari ekspansi industri pertambangan nikel. Gugusan pulau yang menjadi ikon konservasi laut global itu terancam rusak akibat proyek tambang yang terus didorong atas nama hilirisasi dan pembangunan ekonomi nasional.

Aktivitas eksplorasi nikel mulai teridentifikasi di sejumlah titik, seperti Pulau Gag, Pulau Kawe, Pulau Manuran, dan Pulau Batang Pele. Beberapa laporan terbaru menunjukkan adanya kerusakan lingkungan yang signifikan di wilayah tersebut, termasuk air laut yang mulai keruh, kerusakan terumbu karang, hingga menurunnya kualitas habitat laut.

“Apakah manusia berhak merusak keajaiban yang tak dapat diciptakannya? Raja Ampat adalah karya agung semesta, bukan sekadar sumber daya yang bisa dieksploitasi semaunya,” ujar Logis Satria Zebua, Kepala Bidang Advokasi dan Kampanye Lingkungan GMKI Bogor, dalam keterangan tertulisnya, Jumat (7/6).

Kerusakan Ekologis dan Sosial Tak Terelakkan

Penambangan nikel dikenal sebagai industri yang memiliki jejak ekologi yang besar, terutama ketika dilakukan dengan metode tambang terbuka. Prosesnya mencakup pembukaan lahan skala besar, pengupasan lapisan tanah, dan penggunaan bahan kimia yang berpotensi mencemari tanah, udara, dan perairan.

Di Raja Ampat, kerentanan ekosistem sangat tinggi karena wilayah ini didominasi pulau-pulau kecil dan kawasan karst yang rapuh. Sedimen, limbah tambang, dan lumpur dari aktivitas tersebut berpotensi besar mencemari wilayah pesisir, menghancurkan terumbu karang, padang lamun, dan hutan mangrove—habitat penting bagi jutaan biota laut, termasuk spesies endemik yang hanya ditemukan di Raja Ampat.

Masyarakat Lokal di Garis Depan Ancaman

Masyarakat adat dan komunitas lokal yang selama ini menggantungkan hidup pada sektor perikanan dan pariwisata menjadi pihak yang paling terdampak. Ekowisata di Raja Ampat, yang telah memberikan kehidupan bagi ribuan keluarga melalui usaha homestay, pemandu selam, dan operator wisata bahari, berpotensi lumpuh jika aktivitas tambang terus berjalan.

“Kalau air laut tercemar dan terumbu karang mati, siapa yang mau datang ke sini? Wisatawan akan pergi, dan kami tidak punya pilihan lain selain meninggalkan laut,” ujar Maikel, seorang pemandu wisata lokal di Waisai, ketika dihubungi melalui sambungan telepon.

Tak hanya berdampak ekonomi, aktivitas tambang juga berpotensi mencederai hak-hak masyarakat adat. Tanah yang menjadi target tambang kerap kali merupakan wilayah adat yang menyimpan nilai spiritual dan budaya tinggi. Proses perizinan disebut seringkali tidak memenuhi prinsip Free, Prior, and Informed Consent (FPIC), atau dalam konteks Indonesia dikenal sebagai Persetujuan atas Dasar Informasi Awal Tanpa Paksaan (PPLP).

Ironi dalam Kawasan Konservasi

Raja Ampat saat ini telah ditetapkan sebagai Kawasan Konservasi Perairan Nasional dan merupakan bagian dari jaringan situs penting keanekaragaman hayati global. Namun ironi mencuat ketika kawasan ini tetap menjadi sasaran eksplorasi dan investasi tambang.

Para aktivis lingkungan menyebut hal ini sebagai bentuk inkonsistensi pemerintah dalam menjalankan komitmen perlindungan lingkungan. Mereka mendesak agar pembangunan yang diusung harus berbasis keberlanjutan dan menghargai kearifan lokal, bukan malah mendorong model ekonomi ekstraktif yang terbukti merusak.

Seruan Perlindungan dan Penolakan Tambang

Sebagai bentuk kepedulian dan sikap tegas terhadap ancaman ini, GMKI Bogor bersama masyarakat sipil mendesak pemerintah untuk:
1. Menolak secara tegas semua permohonan izin penambangan nikel di Raja Ampat.
2. Memperkuat status perlindungan Raja Ampat sebagai Kawasan Konservasi Perairan Nasional dan mendorong pengakuan sebagai Situs Warisan Dunia.
3. Melakukan kajian lingkungan strategis dan partisipatif terhadap potensi tambang di kawasan ini.
4. Mengakui dan melibatkan masyarakat adat dalam setiap proses pengambilan keputusan yang berkaitan dengan sumber daya alam mereka.

“Ini adalah pertaruhan masa depan. Kita tidak bisa menukar warisan alam dunia dengan keuntungan sesaat. Sudah saatnya negara bersikap berpihak pada keberlanjutan, bukan pada keserakahan,” tutup Zebua.

Editor: [Abdul]
Tanggal: Jumat, 7 Juni 2025

Related Articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Stay Connected

0FansSuka
0PengikutMengikuti
0PelangganBerlangganan
- Advertisement -spot_img

Latest Articles

Enable Notifications OK No thanks