Jakarta | LintasUpdate – Restorative justice atau keadilan restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil. Pendekatan ini menekankan pemulihan keadaan semula, bukan pembalasan, yang merupakan anti-tesis dari sistem pemidanaan yang hanya fokus pada terdakwa. Minggu, 06 April 2025.
Dalam konteks negara hukum, penyelesaian perkara pidana melalui pendekatan restorative justice memerlukan legitimasi yuridis agar pemberlakuannya memiliki daya ikat, menciptakan kesatuan hukum, kepastian, keadilan, dan kemanfaatan dalam pelaksanaannya. Selain itu, dasar hukum juga diperlukan untuk memberi batasan dalam pelaksanaan mekanisme keadilan restoratif.
Sejalan dengan itu, Mahkamah Agung Republik Indonesia (MARI) pada tanggal 2 Mei 2024 telah menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pedoman Mengadili Perkara Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif, yang secara resmi diundangkan pada 7 Mei 2024. Merujuk pada konsideran dalam Perma 1/2024, terdapat dua alasan utama yang menjadi latar belakang terbitnya peraturan tersebut:
Pergeseran sistem pemidanaan dari yang semula hanya berorientasi pada pemidanaan terdakwa, beralih menuju penyelarasan kepentingan pemulihan korban.
Pendekatan keadilan restoratif telah menjadi diskursus dalam proses peradilan, namun belum cukup diatur dalam sistem peradilan pidana, terutama mengenai jenis perkara, syarat, dan tata cara penerapannya dalam proses peradilan. Kebijakan Mahkamah Agung tentang Pendekatan Keadilan Restoratif dalam Penyelesaian Perkara Pidana Syarat suatu tindak pidana dapat diadili berdasarkan Perma 1/2024 meliputi:
Tindak pidana yang dilakukan merupakan tindak pidana ringan atau kerugian korban bernilai tidak lebih dari Rp2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah) atau tidak lebih dari upah minimum provinsi setempat.
Tindak pidana merupakan delik aduan.
Tindak pidana dengan ancaman hukuman maksimal 5 (lima) tahun penjara dalam salah satu dakwaan, termasuk tindak pidana jinayat menurut qanun. Tindak pidana dengan pelaku anak yang diversinya tidak berhasil. Tindak pidana lalu lintas yang berupa kejahatan.
Terdakwa harus mengakui perbuatan/pengakuan bersalah (plea bargaining) pada tahap pemeriksaan pengadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2), meliputi pengakuan akan perbuatan tanpa disertai keberatan atas berita acara pemeriksaan, catatan dakwaan, atau surat dakwaan. Proses persidangan dapat langsung dilanjutkan disertai dengan mekanisme keadilan restoratif. Ketentuan ini menegaskan bahwa harus ada pembenaran atas perbuatan untuk bisa dilakukan mekanisme restorative justice. Keberatan baik sebagian atau seluruhnya dengan sendirinya menggugurkan penggunaan mekanisme restorative justice berdasarkan Perma 1/2024.
Hakim berwenang untuk melakukan koreksi terhadap kesepakatan perdamaian sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (1), yang memberi wewenang kepada hakim untuk memeriksa kesepakatan yang telah dibuat antara terdakwa dan korban. Tujuannya adalah untuk menghindari adanya kesesatan, paksaan, penipuan, serta penyalahgunaan keadaan dari salah satu pihak.
Pembuatan atau pembaruan kesepakatan dengan prakarsa hakim diatur dalam Pasal 10 ayat (3) dan Pasal 15, di mana dalam konteks pembaruan kesepakatan sebagaimana dalam Pasal 10 ayat (3) dapat dilakukan oleh hakim apabila terdakwa menyatakan tidak sanggup melaksanakan kesepakatan yang telah dibuat sebelum pemeriksaan perkara. Sementara dalam Pasal 15, bila sebelumnya belum ada kesepakatan damai, hakim dapat menggali informasi berupa dampak tindak pidana terhadap korban, kerugian ekonomi dan/atau kerugian lain yang timbul sebagai akibat tindak pidana, biaya perawatan medis dan/atau psikologis yang sudah dan akan dikeluarkan korban, kemampuan terdakwa untuk melaksanakan kesepakatan, ketersediaan layanan untuk membantu pemulihan korban dan/atau terdakwa, serta informasi lain yang menurut hakim perlu untuk diperiksa dan dipertimbangkan.
Kesepakatan perdamaian menjadi pertimbangan dalam putusan hakim (vide Pasal 12 ayat (3)) sebagai alasan yang meringankan hukuman dan/atau sebagai dasar pertimbangan untuk menjatuhkan pidana bersyarat/pengawasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (vide Pasal 19). Dalam perkara delik aduan, kesepakatan dapat berupa pencabutan pengaduan sepanjang masih dalam tenggang waktu yang secara hukum telah dianggap terlaksana saat perjanjian tersebut ditandatangani di depan hakim (vide Pasal 14).
Bentuk kesepakatan perdamaian meliputi: a. Terdakwa mengganti kerugian;
b. Terdakwa melaksanakan suatu perbuatan; dan/atau
c. Terdakwa tidak melaksanakan suatu perbuatan.
Larangan dalam kesepakatan perdamaian: a. Bertentangan dengan hukum, ketertiban umum, dan/atau kesusilaan.
b. Melanggar hak asasi manusia sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan terkait hak asasi manusia.
c. Merugikan pihak ketiga; atau
d. Tidak dapat dilaksanakan.
Penerapan prinsip keadilan restoratif tidak menghapuskan pertanggungjawaban pidana. Ketentuan Pasal 3 ayat (2) dalam Perma 1/2024 menegaskan ciri klasik dari hukum pidana yang kita anut, di mana perdamaian tidak menghapuskan pertanggungjawaban pidana, karena penindakan pelanggaran pidana yang inisiatifnya berasal dari negara bertujuan untuk melindungi ketertiban umum, bukan kepentingan korban semata.
Hakim tidak berwenang menerapkan Perma 1/2024 dalam hal: a. Korban atau terdakwa menolak untuk melakukan perdamaian.
b. Terdapat relasi kuasa.
c. Terdakwa mengulangi tindak pidana sejenis dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun sejak terdakwa selesai menjalani putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
Manfaat Restorative Justice bagi Pengadilan
Dapat menyelesaikan perkara secara sederhana, cepat, dan biaya murah
Penerapan pedoman mengadili perkara pidana berdasarkan keadilan restoratif menyediakan mekanisme yang lebih sederhana dan mendekati model plea bargaining. Kecepatan dalam penanganan perkara serta penjatuhan pidana yang ringan atau selain pidana penjara juga dapat menghemat biaya yang timbul selama penahanan, persidangan, serta pembinaan di lembaga pemasyarakatan.
Dapat mendorong akuntabilitas dan transparansi penjatuhan pidana
Melalui penerapan restorative justice, penjatuhan pidana bisa lebih transparan dan akuntabel. Artinya, pemidanaan terhadap terdakwa yang perkaranya diselesaikan dengan pendekatan keadilan restoratif pastinya berbeda dengan pemidanaan terhadap terdakwa yang perkaranya tidak diselesaikan dengan pendekatan keadilan restoratif.
Memberikan kepastian pada arah putusan hakim Mekanisme keadilan restoratif yang dijalankan secara benar dan konsekuen akan melahirkan suatu gambaran mengenai putusan yang dapat diprediksi (predictable). Sehingga terdakwa atau keluarga terdakwa tidak perlu ragu untuk membuat komitmen perdamaian dengan korban tindak pidana, karena komitmen tersebut akan meringankan hukuman terdakwa.
Penutup
Perma 1/2024 merupakan jalan moderat yang diambil oleh Mahkamah Agung di tengah kekosongan hukum mengenai restorative justice pada tingkat peradilan. Perma 1/2024 menyeragamkan pandangan mengenai keberlakuan pendekatan keadilan restoratif selama proses peradilan, sekaligus memberi dasar bagi hakim untuk melakukan penyelesaian perkara pidana dengan pendekatan keadilan restoratif. (Red)