Jabar | LintasUpdate – Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, kembali menjadi sorotan publik. Kali ini bukan karena prestasi, melainkan sejumlah kebijakan kontroversial dan unggahan di media sosial yang dinilai lebih condong ke arah populisme ketimbang solusi konkret.
Muhtar, Koordinator BEM RI, mengkritik keras gaya kepemimpinan Dedi yang dinilainya lebih mengutamakan atensi dan viralitas dibanding kolaborasi serta komunikasi produktif. “Dedi telah menunjukkan kekeliruan besar dalam mengelola tanggung jawab sebagai kepala daerah,” ujar Muhtar pada Senin (5/5).
Sejak dilantik, Dedi kerap meluncurkan kebijakan yang mengundang sorotan karena dinilai tidak terkoordinasi dan mengabaikan prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik. Salah satu yang paling menuai kontroversi adalah kebijakan vasektomi sebagai syarat penerima bantuan sosial (bansos), yang ditentang oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan sejumlah anggota legislatif.
“Menerapkan kebijakan seperti ini tanpa mengonsultasikannya dengan para pemangku kepentingan hanya akan menimbulkan kegaduhan dan menurunkan kepercayaan publik,” tegas Muhtar.
Ia juga menilai Dedi lebih sibuk mengelola citra diri di media sosial ketimbang menjalankan tugas sebagai pemimpin berbasis bukti dan koordinasi lintas sektor. “Ini bukan era di mana pemimpin cukup fokus pada pencitraan. Pemimpin harus berpikir ke depan dan mendengar suara rakyat, bukan sekadar mengejar viralitas di internet,” tambahnya.
Dalam beberapa tahun terakhir, Dedi memang aktif memanfaatkan platform digital untuk menyampaikan kebijakan, namun seringkali berujung pada kebingungan publik. Konten-konten kontroversial yang dibuat untuk menarik perhatian justru dianggap merusak kredibilitas serta mendistorsi esensi kebijakan itu sendiri.
“Kebijakan diambil tanpa melewati forum koordinasi matang dengan DPRD, tokoh masyarakat, atau pakar. Ini sangat disayangkan,” ujar Muhtar.
Dalam berbagai kesempatan, Dedi juga tampak tidak menggubris kritik maupun saran. Ia tetap bersikukuh pada kebijakan yang belum matang, walau mendapat reaksi keras dari berbagai pihak. “Pemimpin yang baik harus bisa mendengar, bukan merasa selalu benar,” tambahnya.
Muhtar juga menyoroti gaya kepemimpinan Dedi yang terlalu mengandalkan media sosial untuk menampilkan kedekatan dengan rakyat. Namun, hal ini justru dinilai menjebaknya dalam sikap merasa paling benar. “Ketika terlalu fokus pada konten viral, publik akan merasa pemimpin ini hanya mencari perhatian, bukan menyusun kebijakan berdampak positif.”
Pernyataan MUI yang menyebut kebijakan vasektomi sebagai syarat bansos adalah haram, seharusnya menjadi refleksi penting bagi Dedi. Minimnya koordinasi dengan lembaga keagamaan dan masyarakat memperkuat kritik terhadap pendekatan sepihak dalam membuat kebijakan.
BEM RI menegaskan kembali bahwa kepemimpinan bukanlah soal pencapaian viral semata. Dedi diharapkan lebih memfokuskan diri pada pembangunan yang berdampak langsung terhadap kesejahteraan rakyat. “Memimpin bukan menjadi selebgram. Memimpin berarti mengelola pemerintahan secara bijak, terbuka, dan melibatkan seluruh elemen masyarakat,” tegas Muhtar.
Ke depan, Muhtar berharap Dedi lebih terbuka terhadap kritik dan tidak terjebak dalam perangkap popularitas semu. “Rakyat butuh pemimpin yang mampu membawa perubahan nyata, bukan yang hanya mengejar ketenaran di dunia maya,” tutupnya.
Dengan kebijakan yang berbasis kolaborasi dan transparansi, publik berharap Dedi Mulyadi bisa mengubah pendekatannya demi kesejahteraan masyarakat Jawa Barat secara berkelanjutan.(Red)